Image of MODEL PERJANJIAN PENUNDAAN PENUNTUTAN (DEFERRED
PROSECUTION AGREEMENT) YANG DITERAPKAN PADA TINDAK
PIDANA KORPORASI DIHUBUNGKAN DENGAN SYARAT SAHNYA
PERJANJIAN BERDASARKAN PASAL 1320 KUH PERDATA

MODEL PERJANJIAN PENUNDAAN PENUNTUTAN (DEFERRED PROSECUTION AGREEMENT) YANG DITERAPKAN PADA TINDAK PIDANA KORPORASI DIHUBUNGKAN DENGAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN BERDASARKAN PASAL 1320 KUH PERDATA



Ketika korporasi melakukan tindak pidana, pengutamaan hukum secara
represif terhadap korporasi dan oknum birokrat bukanlah langkah yang tepat, sebab
akan berdampak setidaknya terhadap dua hal, yaitu dampak terhadap kelangsungan
bisnis dan dampak terhadap perekonomian nasional. Oleh sebab itu, diperlukan
alternatif penyelesaian sengketa berupa penuntutan yang ditangguhkan atau di
kenal dengan deferred prosecution agreement yang pada dasarnya adalah perjanjian
informal antara pengacara/terdakwa dan jaksa penuntut umum untuk mengatur
persyaratan yang wajib dipenuhi pelaku. Di Indonesia, model serupa pernah
diterapkan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berupa Master
Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA”) atau Master Refinancing and
Note Issuance Agreement (“MRNIA”) serta Akta Pengakuan Utang (“APU”). Akan
tetapi, yang menjadin persoalan ialah terkait dengan adanya syarat sah perjanjian
sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang dalam penelitian ini
ditinjau dari aspek kausa yang halal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
model perjanjian penundaan penundaan penuntutuan (deferred prosecution
agreement) yang dapat diterapkan pada tindak pidana korporasi serta kedudukan
perjanjian penundaan penuntutan (deferred prosecution agreement) sehubungan
dengan adanya syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis
penelitan yuridis normatif. Metode pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif. Data yang
diperoleh melalui studi literatur dan dianalisis dengan metode yuridis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang pertama bahwa model perjanjian
penundaan penuntutan (deferred prosecution agreement) yang dapat diterapkan
pada tindak pidana korporasi jika mengambil contoh dari Amerika Serikat, Inggris,
dan Singapura memiliki model yang berbeda-beda, namun juga memiliki beberapa
kesamaan dalam pedoman pelaksanaannya. Berdasarkan hasil penelitian kedua,
yaitu kedudukan perjanjian penundaan penuntutan (deferred prosecution
agreement) sehubungan dengan adanya syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320
KUH Perdata adalah sah sebagai perjanjian selama tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.


Detail Information

Statement of Responsibility
Description
-
Publisher STHB Press : .,
Language
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Content Type
Undergraduate Theses

File Attachment