Tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran
serius terhadap hak asasi manusia dan kejahatan yang berdampak panjang bagi
korban. Anak sebagai korban memiliki hak untuk memperoleh perlindungan,
pemulihan, dan ganti rugi atas penderitaan fisik, psikis, serta kerugian ekonomi
yang dialaminya. Salah satu bentuk pemulihan tersebut adalah restitusi yang
diberikan oleh pelaku kepada korban. Penelitian agar mengetahui bentuk dan
pelaksanaan restitusi terhadap anak korban dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung Nomor 86/Pid.Sus/2022/PT Bdg, serta menelaah penjatuhan sanksi
pidana terhadap pelaku yang merupakan tenaga pendidik.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Data diperoleh
melalui studi kepustakaan, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier. Teknik analisis yang digunakan adalah yuridis kualitatif, dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang berlaku, doktrin, serta putusan
hakim sebagai data utama untuk dianalisis secara sistematis dan logis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung No. 86/Pid.Sus/2022/PT BDG, restitusi berupa ganti rugi materiil
dibebankan langsung kepada terdakwa untuk 12 anak korban, dengan total
Rp331.527.168, berdasarkan perhitungan LPSK. Dan Penjatuhan sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana pelecehan seksual Pada tingkat pertama
(Putusan No. 986/Pid.Sus/2021/PN Bdg), terdakwa dijatuhi pidana seumur
hidup dan diwajibkan membayar restitusi sesuai Pasal 67 dan 71A UU
Perlindungan Anak. Di tingkat banding, hukuman diperberat menjadi pidana
mati dan restitusi tetap dibebankan. Mahkamah Agung menolak kasasi
terdakwa melalui Putusan No. 5642 K/Pid.Sus/2022 karena putusan banding
dinilai telah sesuai hukum berdasarkan Pasal 253 ayat (1) dan Pasal 256
KUHAP.